Denda Kok Riba
Oleh: Kang Ifham | @ngajimuamalah

Join WAG Ngaji Muamalah, klik: WAG Ngaji Muamalah

Ada sebagian netijen yang menyatakan bahwa denda itu riba. Padahal gharamah atau ta’zir atau sanksi atau denda itu jelas diatur kebolehannya oleh Syariat Islam.

Syariah agama Islam merumuskan bahwa dalam muamalah, membolehkan sesuatu itu tidak perlu dalil (kebolehannya), yang penting tidak ada dalil larangannya. Kalau kita membolehkan sesuatu kok malah ada dalil penguatnya, berarti makin kuat.

Dalil kewajiban mematuhi akad:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَوْفُوا۟ بِٱلْعُقُودِ

“Wahai orang yang punya iman, patuhi akad-akad (yang sudah disepakati).”
(QS Al Maidah: 1).

Kalau tidak patuh terhadap ketentuan akad yang sudah disepakati, berarti terkategori zhalim, tidak termasuk orang yang punya iman (menurut ayat tersebut). Orang zhalim layak dihukum.

Anda yang melakukan transaksi riba, dalam posisi sebagai debitur, maka Anda tetap wajib bayar kewajiban sesuai yang disepakati (ditandatangani oleh para pihak) di dalam akad (kontrak/perjanjian). Jika Anda berposisi sebagai kreditur riba, Al Quran memang merumuskan agar Anda meninggalkan sisa riba, hak Anda adalah pokok hartanya (QS Al Baqarah: 278).

Dalil bagi orang mampu (bukan faqir miskin) yang menunda bayar kewajiban:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ

Rasulullah SAW bersabda, “Mengulur-ulur waktu pembayaran utang/kewajiban bagi orang yang mampu adalah kezaliman …” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah, Malik, Darimi).

Orang zhalim, itu layak dihukum/disanksi.

Orang/nasabah/konsumen yang disetujui pembiayaannya, pasti terkategori mampu, bukan dhuafa, bukan faqir miskin, apalagi jika ada agunan. Fungsi agunan adalah sebagai pengganti bayar utang/kewajiban.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ

Rasulullah SAW bersabda, “Penundaan pembayaran utang yang dilakukan oleh orang yang mampu membayarnya, (itu) menghalalkan harga dirinya (diumumkan/ dighibah) dan (menghalalkan) pengenaan hukuman (penjara/cambuk/denda).” (HR Ahmad, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah).

Ulama madzhab Hanafi, Hanbali, Maliki, dan sebagian ulama madzhab Syafi’i membolehkan sanksi berupa denda harta/material.

Imam az-Zailai menyatakan, “Dari Abu Yusuf, bahwa hukuman/denda dengan mengambil harta adalah boleh menurut Imam Abu Hanifah.” (Tabyin Al-Haqaiq, Az-Zailai, jilid 3/hal. 208).

Imam Alaudin Ath-Tharablusi menyatakan, ”Boleh memberikan hukuman/denda dengan mengambil harta. Ini adalah madzhab Abu Yusuf dan Imam Malik.” (Mu’ayan Al-Ahkam, hal. 195).

Syaikhul Islam Ibn Taimiyah menyatakan, “Hukuman/denda dengan harta baik dengan cara meleyapkan atau mengambil adalah sesuai dengan pokok madzhab Imam Ahmad, karenanya tidak satupun sahabat beliau yang berbeda pendapat tentang sanksi dalam harta yang tidak dihapus seluruhnya. Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi berpendapat tidak boleh mengambil harta orang yang memiliki udzur, sambil memberi isyarat atas perlakuan para penguasa yang zhalim.” (Al-Ikhtiyarat Al-Ilmiyah, Fatawa Al-Kubra jilid 5/hal. 530).

Syaikhul Islam Ibnul Qayyim al-Jauziyah menyatakan, “Adapun Hukuman/denda dengan sanksi atas harta adalah ditetapkan syariat dalam beberapa tempat khusus dalam madzhab Imam Malik dan Ahmad, salah satu pendapat Imam Asy-Syafi’i, terdapat keterangan dari sunnah Rasulullah SAW dan sahabatnya tentang hal ini dalam beberapa bagian dari madzhabnya” (Ath-Thuruq Al-Hukmiyah, hal 224-228).

Fatwa Kerajaan Saudi Arabia dan Fatwa DSN MUI senada bahwa denda telat bayar (TA’ZIR) ini dapat berupa uang, menjadi Dana Sosial/Kebajikan, menjadi Dana TBDSP (Dana yang Tidak Boleh Diakui Sebagai Pendapatan).

Pengenaan sanksi/denda ini adalah bab gharamah atau ta’zir, bukan bab riba.

Andai denda telat bayar dituduh sebagai riba, cermati arti riba utang yakni ketika ada (1) utang (2) bersyarat (3) aliran manfaat/ziyadah, (4) bagi pemberi pinjaman.

Cermati, denda yang diterapkan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) tidak diakui sebagai pendapatan, namun masuk pos dana sosial, maka poin no (4) tidak terpenuhi, akadnya pun bukan pinjaman, sehingga denda di LKS makin jelas bahwa denda ini memang bukan bab riba riba.

Penggunaan Dana Denda di Lembaga Keuangan / Bisnis / Perekonomian Syariah:

a. Penanggulangan korban bencana;
b. Sarana penunjang lembaga pendidikan Islam;
c. Masjid/musholla dan penunjangnya;
d. Pembangunan fasilitas umum yang berdampak sosial;
e. Sosialisasi, edukasi dan literasi ekonomi, keuangan dan bisnis syariah untuk masyarakat umum;
f. Beasiswa untuk siswa/mahasiswa berprestasi dan/atat kurang mampu;
g. Kegiatan produktif bagi dhuafa’;
h. Faqir-miskin;
i. Kegiatan sosial lainnya yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

Dana denda (termasuk semua Dana TBDSP) tidak boleh digunakan untuk:

a. Promosi produk maupun iklan (branding) perusahaan;
b. Pendidikan dan pelatihan untuk karyawan;
c. Pembayaran pajak, zakat & wakaf;
d. Pembayaran/pelunasan tunggakan nasabah (end-user);
e. Kegiatan yang bertentangan dengan prinsip syariah.

Penggunaan Dana TBDSP ini diawasi oleh OJK dan DSN MUI serta dituangkan dalam laporan resmi.

Simpulan: Denda yang diterapkan di Lembaga Keuangan Syariah sudah sesuai Syariah Islam.

Tulisan ini tayang pertama kali di WAG Ngaji Muamalah.

Join WAG Ngaji Muamalah, klik: WAG Ngaji Muamalah


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *