Tanya:

“Apa hukumnya bekerja di Bank Konven?”

Jawab:

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dilihat dari 2 sisi, yakni dari sisi kriteria hukum dan judgement (keputusan) hukumnya. Itu bisa jadi 2 hal yang berbeda.

Jawaban ini nanti berlaku juga untuk hukum bekerja di Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Asuransi Konven, Pegadaian Konven, Koperasi Konven, dan berbagai
institusi lain sejenisnya. Khusus terkait BI dan OJK, ini malah lembaga otoritas yang memang menaungi lembaga Syariah dan Konven sekaligus. Penting ada.

Kriteria Hukum

Kriteria hukum kerja di Bank Konvensional sesuai Fatwa MUI No. 1 tahun 2004 tentang Pembungaan Uang (dirinci dalam Fatwa DSN MUI No. 1 – 130 per tahun 2021), itu hukumnya sama dengan hukum bekerja di tempat riba, yakni haram. Bank Konven itu kan inti bisnisnya memang transaksi riba.

Hanya saja, selagi kita masih butuh uang, maka bank itu harus ada. Tinggal dicermati saja, bank syariah dan bank konven-kah yang harus ada? Apakah bank syariah bisa ada tanpa ada bank konven? Nah, jawaban atas pertanyaan ini bisa menyebabkan adanya keputusan hukum yang berbeda-beda, di luar urusan kondisi masing-masing bankirnya.

Keputusan Hukum

Kriteria hukum kerja di Bank Konven itu haram (merujuk Fatwa MUI No. 1 tahun 2004. Namun, keputusan hukumnya akan ada sebanyak nyawa pelakunya, karena pada setiap bankir konven-nya memungkinkan ada dalam kondisi yang berbeda satu sama lainnya. Dalam penentuan hukumnya, tidak bisa disamakan satu sama lain. Ini di luar kenyataan bahwa bank itu harus ada, selagi kita masih pakai uang.

Ada 3 hal/pertimbangan yang memungkinkan seseorang menjadi boleh atau bahkan harus bekerja di Bank/Lembaga Konven, yakni kondisi darurat atau hajat atau anti mafsadat. Cermati..

Ketika kita berada dalam salah satu dari 3 kondisi tersebut, ada kemungkinan kita boleh melakukan hal yang terlarang.

Ada 2 ayat Al-Quran secara khusus merumuskan bahwa nggak dosa jika terpaksa, yakni “… Tetapi barang siapa terpaksa (makan zat haram) karena lapar bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS Al-Maidah: 3). Ayat lain, “… Tetapi barangsiapa terpaksa (makan zat haram), bukan karena menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah: 173).

Ayat ini secara tekstual terkait makan zat haram, tetapi dari sisi ilmu ushul fiqh dapat digunakan untuk berhukum ketika melakukan transaksi haram, nggak hanya urusan zat haram. Kalau Fatwa DSN MUI bahkan lebih ringan berhukumnya, yakni memungkinkan kita boleh melakukan transaksi haram (misalnya riba), jika dalam kondisi hajat (bukan darurat). Lihat Fatwa DSN MUI No. 28 tentang Sharf. Pada Fatwa tersebut, DSN MUI menegaskan hukum transaksi forward dalam forex adalah riba, namun terhukum boleh dilakukan jika dalam kondisi hajiyat atau hajat atau ada kebutuhan.

Kondisi Darurat

Darurat atau dharuriyat adalah kondisi ketika sesuatu tidak dilakukan atau tidak ada, maka akan terjadi ke-rusakan, kemusnahan, cacat, bahkan mati.

  • Jika kamu nggak bekerja di Bank Konven kok akan menimbulkan kerusakan/musnah/cacat/mati, nggak bisa makan, nggak ada nafkah sama sekali, maka berarti boleh atau bahkan harus bekerja di Bank Konven.
  • Jika Bank Konven tersebut nggak ada (beroperasi) kok dapat menyebabkan Bank Syariah (misalnya anak usaha Bank Konven tersebut) mati atau bubar atau tidak ber-operasi lagi, maka berarti hukumnya boleh atau bahkan harus bekerja di Bank Konven. Tentu harus ada upaya sangat serius untuk mensyariahkan Bank Konven ter-sebut. Kalau bankirnya menikmati atas kondisi yang ada, tidak ada upaya serius mensyariahkannya, maka hukum-nya menjadi seperti hukum riba. Haram.
  • Misalnya, selagi kamu masih butuh duit, maka bank itu harus ada, baik itu BI maupun bank selain BI. Jadinya, harus ada yang kerja di BI. Sebaliknya, jika kita nggak butuh pakai uang, maka bank itu nggak perlu ada.

Kondisi Hajat

Hajat atau hajiyat adalah kondisi ketika sesuatu tidak dilakukan atau tidak ada, maka tidak ter-jadi kerusakan, kemusnahan, cacat, bahkan mati, tetapi akan menimbulkan kesempitan dan ke-sulitan dalam hidup.

  • Jika kamu nggak bekerja di Bank Konven kok tidak akan menimbulkan kerusakan/musnah/cacat/mati, tetap bisa makan, tetap ada nafkah, tetapi mengalami kesulitan atau kesempitan, maka berarti boleh atau bahkan harus bekerja di Bank Konven.
  • Ada kaidah fikih, “hajat, itu (terkadang) menempati posisi darurat, dalam kondisi umumnya atau dalam kondisi khususnya.
  • Misalnya, kamu sudah bekerja di Bank Konven, ada ikatan dinas selama 5 tahun, kena Penalty/denda sebesar Rp.100 juta, jika resign (berhenti kerja), dan kamu kesulitan (yang beneran sulit) untuk membayar Penalty. Ya sudah, silahkan bekerja di Bank Konven, jangan lupa, bikin rekening Bank Syariah, begitu gajian, langsung pindahkan saldonya ke rekening Bank Syariah saja, ajak temennya, kompak, ajak cabang lain, lama lama kantor cabangnya diganti dengan cabang yang Syariah.
  • Kalau kerja di Bank Konven ya jangan keenakan. Segera terus perjuangkan agar transaksi kita semuanya pakai Bank Syariah saja. Usahakan agar manajemen mengganti bank konven menjadi Bank Syariah. Caranya sebenarnya sederhana, ajak diri sendiri dan orang lain menggunakan rekening Bank Syariah saja, niscaya Bank Konven akan mati dengan sendirinya. Kunci atau nyawa bank konven kan ada di saldonya kita kita. Tinggal kita nya mau pakai saldo konven atau saldo Syariah saja?
  • Nyatanya, saya nggak punya rekening Bank Konven jenis apapun, ternyata bisnis lancar jaya. Amiiiin. Jadi, kalau ada yang masih piara saldo di Bank Konven, ya itu manja saja. Yuk, pindahin saldonya ke Bank Syariah. Segera.

Kondisi Anti Mafsadat

Inti dari tujuan Syariah adalah maslahat. Indikator maslahat dalam muamalah adalah ketika tidak ada dalil larangannya. Dan bahkan ketika ada dalil larangannya, hukumnya boleh melakukan hal terlarang, jika dalam kondisi terpaksa, yakni darurat, hajiyat, atau kondisi menghindari mafsadat.

Pada setiap ada maslahat itu pasti ada kondisi menghilangkan atau menghindari mafsadat/ madharat atau kerusakan. Dan ada kaidah fikih, “menghindari kerusakan itu lebih didahulukan dari menghadirkan kemaslahatan.”

Ada juga kaidah fikih, “ketika ada dalam kondisi harus memilih satu di antara dua atau beberapa mafsadat/rusak, maka pilihlah jalan yang mafsadatnya paling kecil.”

  • Ikhlaslah dengan kenyataan bahwa ketika kita masih butuh pakai uang, maka bank itu harus ada. Baik itu Bank Indonesia maupun bank selain BI. “Kita” yang dimaksud ini ya siapapun kita, mau orang yang paham muamalah maupun yang awam muamalah, semua butuh bank, jika masih butuh pakai uang.
  • Ada kaidah fikih, maa laa yatimmu al-waajib illaa bihi fahuwa waajib, sesuatu yang tidak sempurna sebuah kewajiban/keharusan kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu itu menjadi wajib/harus ada.
  • Ketika ada 2 kondisi, [1] orang yang paham muamalah bekerja di bank, dan [2] orang yang nggak paham muamalah bekerja di bank. Melihat 2 kondisi tersebut, lebih berbahaya mana, kondisi [1] atau kondisi [2]? Kalau orang yang paham muamalah nggak mau kerja di bank, trus bank itu diisi oleh orang-orang yang nggak paham muamalah, kira-kira impian mewujudkan semua bank menjadi bank yang halal, lebih mudah diwujudkan dengan cara [1] atau cara [2]?
  • Padahal ada kaidah fikih, “menghindari kerusakan (yang lebih besar), itu didahulukan daripada menghadirkan kemaslahatan di sisi lain”.
  • Jadi, lebih berbahaya ketika perbankan diisi oleh orang yang nggak paham muamalah atau diisi oleh orang yang paham muamalah?
  • Dan ingat bahwa bank itu harus ada jika kita semua masih butuh pakai uang untuk transaksi sehari-hari.

Kerja di Bank Syariah

Kriteria hukum bekerja di Bank Syariah adalah boleh, bahkan bisa menjadi wajib dalam rangka jihad fi sabilillah di bidang perbankan, yakni mengusahakan dan berusaha terus memastikan agar transaksi perbankan menjadi halal semua. Kalau bekerja di Bank Syariah dalam rangka maksiat, jadinya dilarang Syariah.

Akhirnya, ketika kriteria hukumnya sudah jelas, sudah ada metode ushul fiqh yang jelas, selanjutnya silahkan bikin kesimpulan masing-masing saja. Pada setiap orang akan memungkinkan terkena hukum yang berbeda-beda terkait dengan status mereka bekerja di Bank Konven, Asuransi Konven, Koperasi Konven, Pasar Modal Konven, Pegadaian Konven, dan/atau tempat kerja sejenisnya.

Yang pasti, saya (penulis buku ini), tidak pernah bekerja di Bank Konven, tetapi pernah menjadi Bankir Syariah, saya nggak punya rekening Bank Konven jenis apapun dan hanya punya rekening Bank Syariah untuk transaksi keuangan.

Kesimpulan:

Kriteria hukum kerja di Bank Konven adalah dilarang Syariah, tetapi keputusan hukumnya bisa boleh, bisa harus, bisa haram, tergantung kondisi setiap pelakunya. Ada 3 hal yang bisa menyebabkan seseorang boleh atau bahkan harus kerja di Bank Konven, yaitu jika berada dalam kondisi darurat atau kondisi hajat atau dalam rangka meng-hilangkan mafsadat/kerusakan yang lebih besar.

Ayo Ke Bank Syariah | #iLoveiB

Sumber: Buku 99 Tanya Jawab Bank Syariah, halaman 258-264

Categories: 1. Muamalah

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *