Metode Fatwa DSN MUI
Oleh: Ahmad Ifham Sholihin | Multisumber
- At-Taysir al-Manhaj, yakni memilih pendapat/manhaj yang termudah, memudahkan, solutif dan maslahat.
Ada 2 metode berhukum atas suatu akad atau transaksi (Al-Shuriyah fi al-Mu’awadhat al-Maliyah, h. 85-86), yaitu:
a) Berhukum atas transaksi berdasarkan istilah lafazh dan alurnya, bukan berdasarkan pada maksud dan maknanya. (Madzhab Hanbali, Syafi’i, Maliki).
b) Berhukum atas transaksi berdasarkan maksud dan makna-nya, bukan berdasarkan pada istilah lafazh dan alurnya. (Madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki).
DSN MUI lebih banyak menggunakan metode pertama yaitu berhukum atas transaksi berdasarkan pada istilah lafazh dan alurnya. Selebihnya, DSN MUI menggunakan metode kedua, berdasarkan maksud dan maknanya. Kedua metode ini boleh digunakan semua, asalkan maslahat.
Contoh: tabungan titipan nasabah yang digunakan Bank Syariah, akad ini tetap disebut akad titipan, namun berlaku hukum utang piutang, tidak boleh ada janji imbalan/bonus. Ini pakai 2 metode sekaligus. Istilahnya tetap titipan, perlakuannya seperti utang.
Memilih Pendapat yang Memudahkan
Ada kaidah fikih, “jangan ingkari atas (pengingkaran) suatu hal yang terdapat beda pendapat di dalamnya, namun ingkarilah atas (pengingkaran) sesuatu yang sudah disepakati Ulama.” Konsekuensinya, jika ada beda pendapat, maka kita bisa memilih satu pendapat. Misalnya, sholat shubuh itu pakai qunut atau tidak, itu tinggal memilih salah satu pendapat. Tetapi kalau terkait sholat shubuh itu 1 rekaat atau 2 rekaat, maka ulama sudah sepakat bahwa sholat shubuh itu 2 rekaat.
Tolok ukur masalahat adalah maslahat mursalah, yakni maslahat yang tidak menabrak larangan yang bersifat qath’i. Qath’i adalah hukum yang sudah putus, tidak ada lagi beda pendapat. Ketika jumhur ulama masa lalu berpendapat bahwa kafalah (jaminan) itu tidak boleh ada fee, tapi ulama kontemporer membolehkan adanya fee dalam kafalah, kita boleh ikut salah satu pendapat. Hal ini diulas Nazih Hammad dalam kitab Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah fi al-Mal wa al-Iqtishad.
- Tafriq al-Halal ‘an al-Haram, yakni memisahkan yang halal dari yang haram.
Urusan zat, apalagi zat cair, itu memang sulit dipisahkan sisi halal haramnya. Ada sup ayam satu bejana, ditetesi minyak babi, maka sup satu bejana tadi berubah semua jadi haram.
“Ketika ada halal & haram menyatu, maka sesuatu itu menjadi haram semua.” Kaidah fikih ini cocok untuk zat cair. Kalau akad/ transaksi, maka itu mudah dipisahkan satu sama lain. Kalau di perbankan, dipisahkan dalam akuntansi & IT.
Pada suatu transaksi/akad, sesuatu yang diduga tercampur ternyata dapat dipisahkan satu sama lain. Pada akad/transaksi di perbankan, meskipun ada dalam satu kantor, satu atap, duit dalam satu mesin ATM, bahkan ketika sistem IT (Informasi dan Teknologi) keduanya berada dalam satu laptop, namun alur dan aliran transaksinya dapat dipisahkan.
Pemisahan transaksi dilakukan melalui penentuan COA (Chart of Account) dan aliran debit kredit pada akuntansinya. Setiap jenis bank (Syariah dan Konven) memiliki peraturan akuntansi dan ada laporan masing-masing. Semua itu dipisahkan dalam aplikasi IT yang tidak akan mungkin tercampur satu sama lain, karena merupakan 2 hal yang berbeda dan terpisah (meskipun kedua aplikasi tersebut berada dalam 1 laptop).
Contoh: modal Bank Konven itu menjadi haram ketika digunakan untuk transaksi haram yang dialirkan dalam sistem akuntansi dan IT transaksi haram. Modal Bank Syariah itu halal karena digunakan untuk transaksi halal saja yang juga dialirkan dalam sistem akuntansi dan IT transaksi halal.
Contoh: uang dalam satu mesin ATM, itu netral/mubah/halal. Menjadi haram ketika kita bertransaksi menggunakan kartu ATM Bank Konven, namun menjadi halal ketika kita bertransaksi menggunakan kartu ATM Bank Syariah. Aliran dananya (Konven dan Syariah), tidak akan tercampur satu sama lainnya di sistem.
- I’adah al-Nazhar, yakni mengkaji ulang hukum/fatwa ter-dahulu sesuai waktu, tempat, dan kondisi.
[a] “Hukum itu beredar pada illat-nya dalam adanya atau dalam tiadanya”. [b] “Jangan ingkari bahwa perubahan (penentuan) hukum itu didasarkan pada perubahan zaman/waktu, tempat, dan ahwal atau kondisi atau adat atau kebiasaan” (kaidah fikih).
Ujrah pada Kafalah
Jumhur Ulama melarang fee pada kafalah, tetapi DSN MUI mem-bolehkan kafalah bil ujrah. Dhaman (kafalah) dengan imbalan disandarkan pada imbalan atas jasa jah/dignity/kewibawaan (yang menurut madzhab Syafi’i, hukumnya boleh, walaupun menurut beberapa ulama mengharamkan dan ada pula yang memakruhkan).
Net Revenue Sharing
Fatwa DSN MUI merevisi Fatwa No. 15 tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah sebelumnya menggunakan kata “revenue sharing” diubah menjadi “net revenue sharing”. Nomor Fatwanya masih sama, yakni No. 15. Redaksi fatwa-nya yang dilengkapi.
Wa’d Mengikat
Fatwa DSN MUI No. 27 (2002) tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik menyatakan, janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah wa’d yang hukumnya tidak mengikat. Isi fatwa terkait wa’d tersebut direvisi oleh Fatwa DSN MUI No. 85 tahun 2012 tentang Janji (wa‘d) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah, “janji (wa’d) dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah adalah mulzim (mengikat) dan wajib dipenuhi (ditunaikan) oleh wa’id”.
Pada bagian lain di dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa [1] Wa‘d harus dinyatakan secara tertulis dalam akta atau kontrak perjanjian; [2] Wa’d harus dikaitkan dengan sesuatu (syarat) yang harus dipenuhi atau dilaksanakan mau’ud (wa’d bersyarat).
- Tahqiq al-Manath (analisis penentuan alasan hukum/ ’illat), yakni melakukan kajian mendalam atas illat (sifat/ analog/ alasan) hukum yang diterapkan masa lalu untuk berhukum dalam kondisi masa kini.
Bolehnya Cicil Emas
Fatwa DSN MUI No. 77 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai menggunakan tahqiq al-manath, melakukan kajian mendalam atas status emas sebagai harta ribawi di masa lalu, yang ternyata adalah karena emas pada masa lalu berfungsi sebagai alat tukar resmi (uang). Oleh sebab itu, alat tukar resmi pada saat ini diberlakukan sebagai harta ribawi dan sebagai konsekuensinya, emas berubah status menjadi sil’ah atau komoditas.
Fatwa DSN MUI No. 77 menyatakan, “Jual beli emas secara tidak tunai, baik melalui jual beli biasa atau jual beli murabahah, hukumnya boleh (mubah, ja’iz) selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi (uang).” Penentuan hukum ini dapat berubah jika fungsi emas berubah atau fungsi alat tukar resmi, berubah.
Kesimpulan: Operasional dan bisnis syariah di NKRI merujuk Fatwa MUI dan Fatwa DSN MUI sebagaimana amanah UU NKRI No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan UU NKRI No. 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Metode Fatwa DSN MUI ada 4: (1) at-taysir al-manhaj, memilih manhaj atau pendapat yang termudah, (2) tafriq al-halal an al-haram, memisahkan yang halal dari yang haram, (3) I’adah al-nazhar, mengkaji ulang atas hukum terdahulu, (4) tahqiq al-manath, menelusuri illat hukum di masa lalu untuk berhukum pada masa kini.
Kalau tidak mau ikut Fatwa MUI dan Fatwa DSN MUI, saya kira tidak dosa. UU NKRI mengatur rakyatnya untuk taat Fatwa MUI kan agar aman sana sini aja. Ayo Ke Bank Syariah | #iLoveiB
Sumber, Buku “99 Tanya Jawab Bank Syariah”, halaman 32 – 35.
0 Comments